Fhoto: DISKUSI DI MALAWU OMAH KOPI. (Agung.M)
USAI melakukan sebuah perjalanan mengikuti kata hati. Setelah menempuh jarak sekitar 45 kilometer, kami bertandang ke sebuah rumah unik, bergaya rumah panggung, di pinggir sungai Ngipik, Ngrambe, Ngawi.

Di samping rumah yang dikepung pepohonan rimbun, rumpun-rumpun bambu dan kopi itu, terdengar gemericik air seperti ada tarian dan musik. Yang punya rumah, mbak Malika, menyebutnya "Malawu Omah Kopi".


Dalam diskusi kecil di meja bulat, kursi empat. Kami disuguhi gethuk pelangi khas Ngrambe, dan segelas kopi hasil panen sendiri dari beberapa batang Liberica yang ditanam di halaman rumahnya. Beberapa teguk saja, kami merasa makin candu pada kesejatian. Kami menikmati kopi mbak Malika, dengan kesadaran, tentang jati diri yang tak sebatas data-data pribadi, tapi sebuah laku hidup di dunia kiwari. 


"Tuhan itu bukan sosok atau entitas. Tuhan mewujud dalam diri kita," ujar Malika.


Kamipun merasa, untuk ngopi kami tak harus belajar perkopian. Nikmati. Mengalir seperti kata-kata para petani di Ngawi, "Sing ora penting pikir keri. Kuat dijalani, ra kuat tinggal ngopi".


Mbak Malika, seorang wanita paruh baya, bukan wanita biasa. Pernah merasakan nikmatnya menjalani "Sustainable living". Sebuah filosofi dan cara hidup berkelanjutan, yang menyatu dengan alam, apa yang ada di sekitar kita. Jauh dari kebisingan urban.


"Kita belajar dari kehidupan. Sebab sejatinya kitab adalah apa yang terbentang di alam," ujarnya.


Di tengah arus modernitas, jaman digital, semua serba online, ada fenomena, tren orang-orang mulai terlihat mabuk agama. Bukan rindu kesadaran. Sebuah realitas ambigu yang "Membagongkan".


Sementara kami di rumahnya, merasa sedang menjalani incognito spiritual. Tapi tak lupa disuguhi menu ragawi, "Sup tunjang, cincang kikil, telur dadar, tahu goreng dan teh hijau Jamus".


Ketika pulang yang melewati jalan meliuk sepanjang jalan Sine, saya coba menerka apa arti kata Malawu. Mungkin "Malika" yang diambil dari bahasa Sanskerta yang berarti "Kerajaan". Dan gunung Lawu.


Terima kasih, mbak Malika. Bersamamu hidup "Makin Melawu". Ngawu-awu!"



Oleh: Agung Marsudi

LSolo, 8 April 2025